Aliran-Aliran Filsafat Ilmu
Latar Belakang
Sebagai bagian dari bangunan besar filsafat, filsafat ilmu hilang dan
tumbuh berganti dari mashab yang satu ke mashab yang lainnya. Ini
karena pemikiran filsafat ilmu berasal dari pikiran manusia. “Filsafat
adalah pengetahuan atas realitas dalam kemungkingn-kemungkinan akal
manusia, karena filsafat berakhir pada teori ilmu pengetahuan untuk
memperoleh kebenaran dan bertindak di atas rel kebenaran yang sudah
ditemukan”, demikian kata Abu Y’aqub al-kindi (dalam Hossein Nasr, 1993)
Makalah ini tertarik untuk mengkaji tentang aliran-aliran yang
berkembang dalam filsafat ilmu. Prinsip prinsip dari filsafat ilmu akan
dijelaskan, cara pemerolehan ilmu dalam masing-masing aliran akan
dieksplorasi dan kontribusi masing-masing aliran dalam membangun
pengetahuan akan didiskusikan.
Rasionalisme
Rasionalisme adalah mashab filsafat ilmu yang berpandangan bahwa
rasio adalah sumber dari segala pengetahuan. Dengan demikian, kriteria
kebenaran berbasis pada intelektualitas. Strategi pengembangan ilmu
model rasionalisme, dengan demikian, adalah mengeksplorasi gagasan
dengan kemampuan intelektual manusia.
Sejak abad pencerahan, rasionalisme diasosiasikan dengan pengenalan
metode matematika (Rasionalisme continental). Tokoh-tokoh rasionalisme
diantaranya adalah Descartes, Leibniz dan Spinoza.
Benih rasionalisme sebenarnya sudah ditanam sejak jaman Yunani kuno.
Salah satu tokohnya, Socrates, mengajukan sebuah proposisi yang terkenal
bahwa sebelum manusia memahami dunia ia harus memahami dirinya sendiri.
Kunci untuk memahami dirinya itu adalah kekuatan rasio. Para pemikir
rasionalisme berpandangan bahwa tugas dari para filosof diantaranya
adalah membuang pikiran irasional dengan rasional. Pandangan ini
misalnya disokong oleh Descartes yang menyatakan bahwa pengetahuan
sejati hanya didapat dengan menggunakan rasio. Tokoh lain, Baruch
Spinoza secara lebih berani bahkan mengatakan : “God exists only
philosophically” (Calhoun, 2002).
Sumbangan rasionalisme tampak nyata dalam membangun ilmu pengetahuan
modern yang didasarkan pada kekuatan pikiran atau rasio manusia.
Hasil-hasil teknologi era industri dan era informasi tidak dapat
dilepaskan dari andil rasionalisme untuk mendorong manusia menggunakan
akal pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan
manusia.
Empirisme
Empirisme adalah sebuah orientasi filsafat yang berhubungan dengan
kemunculan ilmu pengetahuan modern dan metode ilmiah. Empirisme
menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas pada apa
yang dapat diamati dan diuji. Oleh karena itu, aliran empirisme memiliki
sifat kritis terhadap abstraksi dan spekulasi dalam membangun dan
memperoleh ilmu. Strategi utama pemerolehan ilmu, dengan demikian,
dilakukan dengan penerapan metode ilmiah. Para ilmuwan berkebangsaan
Inggris seperti John Locke, George Berkeley dan David Hume adalah
pendiri utama tradisi empirisme (Calhoun, 2002).
Sumbangan utama dari aliran empirisme adalah lahirnya ilmu
pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun
pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang
mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam
konteks perdebatan apakah ilmu pengtahuan sosial itu berbeda dengan ilmu
alam. Sejak saat itu, empirisme menempati tempat yang terhormat dalam
metodologi ilmu pengetahuan sosial. Acapkali empirisme diparalelkan
dengan tradisi positivism. Namun demikian keduanya mewakili pemikiran
filsafat ilmu yang berbeda.
Realisme
Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan
tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun
dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk
penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam
membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode
induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks pemerolehan
pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu
observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan.
Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa kategori
fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis walaupun tidak dapat
diobservasi secara langsung.
Tradisi realisme mengakui bahwa entitas yang bersifat abstrak dapat
menjadi nyata (realitas) dengan bantuan symbol-simbol linguistik dan
kesadaran manusia. Gagasan ini sejajar dengan filsafat modern dari
pendekatan pengetahuan versi Kantianism fenonomologi sampai pendekatan
struktural (Ibid, 2002). Mediasi bahasa dan kesadaran manusia yang
bersifat nyata inilah yang menjadi ide dasar ‘Emile Durkheim’ dalam
pengembangan ilmu pengetahuan sosial. Dalam area linguistik atau ilmu
bahasa, de Saussure adalah salah satu tokoh yang terpengaruh mengadopsi
pendekatan empirisme Durkheim. Bagi de Saussure, obyek penelitian bahasa
yang diteliti diistilahkan sebagai ‘la langue’ yaitu simbol-simbol
linguistic yang dapat diobservasi (Francis & Dinnen, 1996)
Ide-ide kaum realis seperti ini sangatlah kontributif pada abad 19
dalam menjembatani antara ilmu alam dan humaniora, terutama dalam
konteks perdebatan antara klaim-klaim kebenaran dan metodologi yang
disebut sebagai ‘methodenstreit’ (Calhoun, 2002). Kontribusi lain dari
tradisi realisme adalah sumbangannya terhadap filsafat kontemporer ilmu
pengetahuan, terutama melalui karya Roy Bashkar, dalam memberikan
argument-argument terhadap status ilmu pengetahuan spekulatif yang
diklaim oleh tradisi empirisme.
Idealism
Idealisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang berpandangan bahwa
doktrin tentang realitas eksternal tidak dapat dipahami secara terpisah
dari kesadaran manusia. Dengan kata lain kategori dan gagasan eksis di
dalam ruang kesadaran manusia terlebih dahulu sebelum adanya
pengalaman-pengalaman inderawi. Pandangan Plato bahwa semua konsep eksis
terpisah dari entitas materinya dapat dikatakan sebagai sumber dari
pandangan idealism radikal. Karya dan pandangan Plato memberikan garis
demarkasi yang jelas antara pikiran-pikiran idealis dengan pandangan
materialis. Aritoteles menjadi orang yang memberikan tantangan pemikiran
bagi gagasan-gagasan idealis Plato. Aristoteles mendasarkan pemikiran
filsafatnya berdasarkan materi dan fisik.
Salah satu sumbangan dari tradisi filsafat idealisme adalah pengaruh
idealism platonic dalam agama kristen. Dalam Perjanjian Baru terdapat
gagasan yang diagungkan, yakni “Permulaan adalah kata-kata” (Ibid,
2002). Pada gilirannya, dalam sejarah, pemikiran Kristen turut
memberikan andil dalam membentuk tradisi idealis terutama
gagasan-gagasan dari Sain Augustine dengan pengembangan konsep penyucian
jiwa. Selain Kristen, pemikiran yang turut memberikan saham bagi
tradisi idealis adalah mistisisme Yahudi, mistisisme Kristen dan
pengembangan pemikiran matematika oleh bangsa-bangsa Arab.
Gerakan-gerakan pemikiran inilah yang kemudian membentuk dialektika
modern antara idealisme dan materialism sejak era renaisans.
Sumbangan idealism terhadap ilmu pengetahuan modern sangatlah jelas.
Ilmu pengetahuan modern diniscayakan oleh kohesi antara bukti-bukti
empiris dan formasi teori. Kaum materialis mendasarkan pemikirannya pada
bukti-bukti empiris sedangkan kaum idealis pada formasi teori. Sebagai
sebuah tradisi filosofi, idealisme tak bisa dipisahkan dengan gerakan
Pencerahan dan filsafat Pasca Pencerahan Jerman. Salah satu tokoh
pemikir idealis yang tersohor adalah Immanuel Kant. Melalui bukunya
“Critique of pure reason” yang diterbitakan tahun 1781, Kant menentang
pendapat tradisi tokoh empiris seperti David Hume dan lain-lainnya. Kant
mengatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman dunia memerlukan kategori
dan pandangan yang berada dalam ruang kesadaran manusia (ibid, 2002).
Gagasan Kant yang terkenal adalah ‘idealisme transedental’. Dalam konsep
ini Kant berargumen bahwa ide-ide rasional dibentuk tidak saja oleh
‘phenomenal’ tapi juga ‘noumenal’, yakni kesadaran transedental yang
berada pada pikiran manusia (ibid, 2002). Generasi idealis berikutnya
dipelopori oleh, Georg Hegel. Hegel mengenalkan gagasan pendekatan
dialektis yang tidak memihak baik gagasan ‘kesadaran mental’ Kant maupun
‘bukti-bukti material’ dari kaum empiris. Pikiran-pikiran Hegel inilah
yang kemudian melahirkan konsep ‘spirit’-sebuah konsep yang integral
dengan kelahiran tradisi ‘idealisme absolut’ (ibid, 2002).
Dengan demikian, pemikiran filsafat idealisme dibangun terutama oleh
gagasan-gagasan Hegel dan Kant. Namun demikian, bangunan filsafat
politik modern yang berpaham bahwa manusia dapat mengatur dunia melalui
ilmu pengetahuan telah membuktikan vitalitas aliran idealisme Kantian.
Tokoh-tokoh yang meletakkan batu pertama bagi fondasi filsafat politik
modern antara lain John Rawls yang menulis tentang teori keadilan dan
Habermas (1987) yang membuahkan karya ‘Communication action’. Melalui
karya ini Habermas menjadi tokoh idealis yang mengoreksi idealisme
konvensional. Bagi kaum idealis konvensional, kenyataan sejarah
merupakan determinisme sejarah yang statis dan tidak dapat ditolak.
Namun bagi Habermas, kenyataan sejarah adalah hasil dari dialektika dan
komunikasi antar manusia. Dengan kata lain, Habermas memposisikan
manusia menjadi subyek aktif dalam praktek-praktek politik dan dalam
membangun institusi-institusi sosial.
Positivisme
Positivisme adalah doktrin filosofi dan ilmu pengetahuan sosial yang
menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai basis
dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Terminologi positivisme dikenalkan
oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai subyektif, digantikan
oleh fakta yang bisa diamati serta penerapan metode ini untuk membangun
ilmu pengetahuan yang diabdikan untuk memperbaiki kehidupan manusia.
Salah satu bagian dari tradisin positivism adalah sebuah konsep yang
disebut dengan positivisme logis. Positivisme ini dikembangkan oleh para
filosof yang menamakan dirinya ‘Lingkaran Vienna’ (Calhoun, 2002) pada
awal abad ke duapuluh. Sebagai salah satu bagian dari positivisme,
positivisme logis ingin membangun kepastian ilmu pengetahuan yang
disandarkan lebih pada deduksi logis daripada induksi empiris. Kerangka
pengembangan ilmu menurut tradisi positivisme telah memunculkan
perdebatan tentang apakah ilmu pengetahuan sosial memang harus
“diilmiahkan”. Kritik atas positivism berkaitan dengan penggunaan
fakta-fakta yang kaku dalam penelitian sosial. Menurut para oponen
positivism, penelitian dan pengembangan ilmu atas realitas sosial dan
kebudayaan manusia tidak dapat begitu saja direduksi kedalam
kuantifikasi angka yang bisa diverikasi karena realitas sosial sejatinya
menyodorkan nilai-nilai yang bersifat kualitatif (Calhoun, 2002).
Menjawab kritik ini, kaum positivis mengatakan bahwa metode kualitatif
yang digunakan dalam penelitian sosial tidak menemukan ketepatan karena
sulitnya untuk di verifikasi secara empiris.
Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi
positivisme adalah Thomas Kuhn, Paul K. Fyerabend, W.V.O. Quine, and
filosof lainnya. Pikiran-pikiran para tokoh ini membuka jalan bagi
penggunaan berbagai metodologi dalam membangun pengetahuan dari mulai
studi etnografi sampai penggunaan analisa statistik.
Pragmatisme
Pragmatisme adalah mashab pemikiran filsafat ilmu yang dipelopori
oleh C.S Peirce, William James, John Dewey, George Herbert Mead, F.C.S
Schiller dan Richard Rorty. Tradisi pragmatism muncul atas reaksi
terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai
entitas yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatisme
berargumentasi bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu
pengetahuan transendental dan menggantinya dengan aktifitas manusia
sebagai sumber pengetahuan. Bagi para penganut mashab pragmatisme, ilmu
pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan
tujuan.
Pada awalnya pragmatisme dengan tokoh-tokohnya mengambil jalan
berpikir yang berbeda antara satu dengan lainnya. Peirce (dalam Calhoun,
2002), misalnya, lebih tertarik dalam meletakkan praktek dalam bentuk
klarifikasi gagasan-gagasan. Peirce adalah tokoh yang menggagas konsep
bahasa sebagai media dalam relasi instrumental antara manusia dengan
benda. Gagasan ini kemudian disebut sebagai semiotik. James, tokoh yang
mempopulerkan pragmatism, lebih tertarik dalam menghubungkan antara
konsepsi kebenaran dengan area pengalaman manusia yang lain seperti;
kepercayaan dan nilai-nilai kemasyarakatan. Tokoh selanjutnya, Dewey,
menjadikan pragmatisme sebagai basis dari praktek-praktek berpikir
secara kritis. Pendekatan Dewey (1916) yang pragmatis dalam pendidikan,
misalnya, menitikberatkan pada penguasaan proses berpikir kritis
daripada metode hafalan materi pelajaran.
Sumbangan dari pragmatisme yang lain adalah dalam praktek demokrasi.
Dalam area ini pragmatisme memfokuskan pada kekuatan individu untuk
meraih solusi kreatif terhadap masalah yang dihadapi.
Kesimpulan
Pandangan dan gagasan filsafat ilmu berkembang dalam dialektika yang
sangat dinamis. Hal ini karena berbagai pemikiran baru muncul
menggantikan konsep-konsep dan pikiran lama. Namun demikian, walaupun
masing-masing aliran ada kelebihan dan kelemahannya, setiap aliran
filsafat ilmu saling berkonstribusi dengan saling menyapa secara kritis.
Dari pokok bahasan di atas, semau filsafat ilmu memberkan kontribusi
yang signifikan bagi terbentuknya pemikiran ilmu pengetahuan modern.
Referensi:
Calhoun, C, 2002, Dictionary of the social science, Oxford University Press, Oxford.
Dewey, J, 1916, Democracy and education: An introduction to the Philosophy of Education, Macmillan, NY.
Francis, P & Dinnen, S.J, 1996, An introduction to General Linguistic, Holt, Rinehart and Winston, INC, New York.
Habermas, J, 1987, The theory of communicative action, Beacon Press, Boston.
Nasr, H, 1993, History of Islamic Philosophy, Ansariyan Publications, Shohada Str. Qum.
SUMBER : http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar